Jumat, 30 November 2007

The Process of Egg Donor

Egg donation is the process of a young woman giving her eggs to an infertile couple that desires to have children. This donation is part of third party reproduction, in which a pregnancy is the goal by in vitro fertilization.

An egg donor may be motivated by a number of reasons to donate her eggs. Some egg donors may feel that by donating they provide a benefit for another couple. Others may be helping an infertile couple that they know or decide to donate from another infertility experience. Some donors are attracted to the monetary compensation.

Women that are infertile may need an egg donor for any number of reasons. Infertile couples may need an egg donor because the female partner cannot have biological children due to her eggs being unfertile. Another problem which may cause couples to seek out an egg donor would be a genetic disorder that the couple does not wish to pass on to their child. Or the female partner may simply be past her child-bearing years and is unable to conceive because of menopause or age-related factors.

Couples can recruit a donor that they know or use an anonymous donor. Couples can also choose an egg donor through a database with pictures, personality information, and a family medical history about the donor. All egg donors are extensively screened for a healthy medical history, and even recruited for potential characteristics such as a high IQ, college education, musical or athletic ability, and beauty. Some donors can gain higher monetary compensation for their services due to their exceptional abilities, some clinics even givie exceptional donors the ability to choose their price (up to $15,000) for their time and effort (particularly for ethnic donors that are in high demand). Higher monetary compensation is very common in states such as California, Arizona, and east coast states where Ivy League schools are present.

Once the egg donor is accepted into the program (after doctor tests and a psychological exam), she undergoes the in vitro fertilization stimulation therapy. The IVF stimulation involves daily injections of fertility drugs to boost the production of the donor’s eggs. After several weeks of injections and doctor appointments, the final step for the donor is the egg retrieval procedure. The procedure involves retrieval through a needle inserted through the vaginal while the donor is sedated. After egg retrieval, the ova are fertilized by the sperm of the male partner in the laboratory, and after several days, the resulting embryo(s) is placed in the uterus of the female recipient. During this time, the donor and the recipient have been prepared for the embryo transfer. The female recipient will hopefully conceive and carry that baby to term. The recipients will raise the child as their own.

Since the inception of IVF treatments, egg donor recipients often have a 50% chance of success. Personal factors may affect the treatment, but success has been known by women of all ages and conditions. The oldest woman to give birth by egg donation was 66 years old. With advanced technology, fertility services can help many infertile couples conceive through an egg donor.

By Genevieve Bordeaux

Senin, 26 November 2007

Make a Test-Tube Baby

IVF is the scientific approach to getting pregnant. Originally termed "test-tube" babies by the Press, embryos are fertilized in the lab, removed from a human body. One attempt at pregnancy through IVF is termed a cycle, and can be divided into 5 general phases.

1. Preparation

You're body is manipulated with drugs. Doctors prescribe a medication such as Lupron to shut down your ovaries for two weeks.

2. Stimulation

Following the Lupron series you will receive a set of up to 14 shots of another medication, such as pergonal, to hyperstimulate egg production. At the conclusion of these shots you will be given a final medication to boost maturity of your eggs.

3. Harvesting

Once the eggs have reached maturity you are heavily sedated and between 5-15 eggs are suctioned from your ovaries via ultrasound guided vaginal retrieval.

4. Fertilization

Egg and sperm meet each other for the first time in the lab. Approximately 100,000 motile sperm are introduced to each egg. Fertilization is documented and the growing embryos are carefully observed in vitro for up to 6 days. The growing trend is to observe growth longer, past the 6-8 cell stage, and blastocyst or advanced stage embryo transfer is not uncommon. There are several benefits to a blastocyst transfer, you might wish to ask your Reproductive team about them.

5. Embryo Transfer

Mom comes back in the picture as 3 or 4 growing embryos are transferred back into your uterus in a procedure that resembles a PAP smear. With any luck a new baby begins growing. On average it takes 3 IVF cycles to establish a pregnancy.

This is a very brief draft of a typical IVF cycle, and it can be an expensive, invasive procedure. But for couples who are having trouble conceiving, IVF is a well-established, proven method to overcoming infertility. There are a million people out there who walking proof it works.

By Daniel Todd

Sabtu, 17 November 2007

Bayi Tabung dari Sudut Pandang Hukum Perdata Indonesia

Latar Belakang Munculnya Inseminasi Buatan (Bayi Tabung)

Pelayanan terhadap bayi tabung dalam dunia kedokteran dikenal dengan istilah fertilisasi-in-vitro yang memiliki pengertian sebagai berikut : Fertilisasi-in-vitro adalah pembuahan sel telur oleh sel sperma di dalam tabung petri yang dilakukan oleh petugas medis. Inseminasi buatan pada manusia sebagai suatu teknologi reproduksi berupa teknik menempatkan sperma di dalam vagina wanita, pertama kali berhasil dipraktekkan pada tahun 1970. Awal berkembangnya inseminasi buatan bermula dari ditemukannya teknik pengawetan sperma. Sperma bisa bertahan hidup lama bila dibungkus dalam gliserol yang dibenamkan dalam cairan nitrogen pada temperatur -321 derajat Fahrenheit.

Pada mulanya program pelayanan ini bertujuan untuk menolong pasangan suami istri yang tidak mungkin memiliki keturunan secara alamiah disebabkan tuba falopii istrinya mengalami kerusakan yang permanen. Namun kemudian mulai ada perkembangan dimana kemudian program ini diterapkan pula pada pasutri yang memiliki penyakit atau kelainan lainnya yang menyebabkan tidak dimungkinkan untuk memperoleh keturunan.

Otto Soemarwoto dalam bukunya “Indonesia Dalam Kancah Isu Lingkungan Global”, dengan tambahan dan keterangan dari Drs. Muhammad Djumhana, S.H., menyatakan bahwa bayi tabung pada satu pihak merupakan hikmah. Ia dapat membantu pasangan suami istri yang subur tetapi karena suatu gangguan pada organ reproduksi, mereka tidak dapat mempunyai anak. Dalam kasus ini, sel telur istri dan sperma suami dipertemukan di luar tubuh dan zigot yang terjadi ditanam dalam kandungan istri. Dalam hal ini kiranya tidak ada pendapat pro dan kontra terhadap bayi yang lahir karena merupakan keturunan genetik suami dan istri.

Akan tetapi seiring perkembangannya, mulai timbul persoalan dimana semula program ini dapat diterima oleh semua pihak karena tujuannya yang “mulia” menjadi pertentangan. Banyak pihak yang kontra dan pihak yang pro. Pihak yang pro dengan program ini sebagian besar berasal dari dunia kedokteran dan mereka yang kontra berasal dari kalangan alim ulama. Tulisan ini tidak akan membahas mengenai pro kontra yang ada tetapi akan membahas mengenai aspek hukum perdata yang menekankan pada status hukum dari si anak dan segala akibat yang mengikutinya.

Proses Inseminasi Buatan (Bayi Tabung)

Dalam melakukan fertilisasi-in-virto transfer embrio dilakukan dalam tujuh tingkatan dasar yang dilakukan oleh petugas medis, yaitu :
1. Istri diberi obat pemicu ovulasi yang berfungsi untuk merangsang indung telur mengeluarkan sel telur yang diberikan setiap hari sejak permulaan haid dan baru dihentikan setelah sel-sel telurnya matang.
2. Pematangan sel-sel telur sipantau setiap hari melalui pemeriksaan darah Istri dan pemeriksaan ultrasonografi.
3. Pengambilan sel telur dilakukan dengan penusukan jarum (pungsi) melalui vagina dengan tuntunan ultrasonografi.
4. Setelah dikeluarkan beberapa sel telur, kemudian sel telur tersebut dibuahi dengan sel sperma suaminya yang telah diproses sebelumnya dan dipilih yang terbaik.
5. Sel telur dan sperma yang sudah dipertemukan di dalam tabung petri kemudian dibiakkan di dalam lemari pengeram. Pemantauan dilakukan 18-20 jam kemudian dan keesokan harinya diharapkan sudah terjadi pembuahan sel
6. Embrio yang berada dalam tingkat pembelahan sel ini. Kemudian diimplantasikan ke dalam rahim istri. Pada periode ini tinggal menunggu terjadinya kehamilan.
7. Jika dalam waktu 14 hari setelah embrio diimplantasikan tidak terjadi menstruasi, dilakukan pemeriksaan air kemih untuk kehamilan, dan seminggu kemudian dipastikan dengan pemeriksaan ultrasonografi.

Permasalahan Hukum Perdata yang Timbul Dalam Inseminasi Buatan (Bayi Tabung)

Inseminasi buatan menjadi permasalahan hukum dan etis moral bila sperma/sel telur datang dari pasangan keluarga yang sah dalam hubungan pernikahan. Hal ini pun dapat menjadi masalah bila yang menjadi bahan pembuahan tersebut diambil dari orang yang telah meninggal dunia. Permasalahan yang timbul antara lain adalah :
1. Bagaimanakah status keperdataan dari bayi yang dilahirkan melalui proses inseminasi buatan?
2. Bagaimanakah hubungan perdata bayi tersebut dengan orang tua biologisnya? Apakah ia mempunyai hak mewaris?
3. Bagaimanakah hubungan perdata bayi tersebut dengan surogate mother-nya (dalam kasus terjadi penyewaan rahim) dan orang tua biologisnya? Darimanakah ia memiliki hak mewaris?

Tinjauan dari Segi Hukum Perdata Terhadap Inseminasi Buatan (Bayi Tabung)

Jika benihnya berasal dari Suami Istri
· Jika benihnya berasal dari Suami Istri, dilakukan proses fertilisasi-in-vitro transfer embrio dan diimplantasikan ke dalam rahim Istri maka anak tersebut baik secara biologis ataupun yuridis mempunyai satus sebagai anak sah (keturunan genetik) dari pasangan tersebut. Akibatnya memiliki hubungan mewaris dan hubungan keperdataan lainnya.
· Jika ketika embrio diimplantasikan ke dalam rahim ibunya di saat ibunya telah bercerai dari suaminya maka jika anak itu lahir sebelum 300 hari perceraian mempunyai status sebagai anak sah dari pasangan tersebut. Namun jika dilahirkan setelah masa 300 hari, maka anak itu bukan anak sah bekas suami ibunya dan tidak memiliki hubungan keperdataan apapun dengan bekas suami ibunya. Dasar hukum ps. 255 KUHPer.
· Jika embrio diimplantasikan ke dalam rahim wanita lain yang bersuami, maka secara yuridis status anak itu adalah anak sah dari pasangan penghamil, bukan pasangan yang mempunyai benih. Dasar hukum ps. 42 UU No. 1/1974 dan ps. 250 KUHPer. Dalam hal ini Suami dari Istri penghamil dapat menyangkal anak tersebut sebagai anak sah-nya melalui tes golongan darah atau dengan jalan tes DNA. (Biasanya dilakukan perjanjian antara kedua pasangan tersebut dan perjanjian semacam itu dinilai sah secara perdata barat, sesuai dengan ps. 1320 dan 1338 KUHPer.)

Jika salah satu benihnya berasal dari donor

· Jika Suami mandul dan Istrinya subur, maka dapat dilakukan fertilisasi-in-vitro transfer embrio dengan persetujuan pasangan tersebut. Sel telur Istri akan dibuahi dengan Sperma dari donor di dalam tabung petri dan setelah terjadi pembuahan diimplantasikan ke dalam rahim Istri. Anak yang dilahirkan memiliki status anak sah dan memiliki hubungan mewaris dan hubungan keperdataan lainnya sepanjang si Suami tidak menyangkalnya dengan melakukan tes golongan darah atau tes DNA. Dasar hukum ps. 250 KUHPer.
· Jika embrio diimplantasikan ke dalam rahim wanita lain yang bersuami maka anak yang dilahirkan merupakan anak sah dari pasangan penghamil tersebut. Dasar hukum ps. 42 UU No. 1/1974 dan ps. 250 KUHPer.

Jika semua benihnya dari donor

· Jika sel sperma maupun sel telurnya berasal dari orang yang tidak terikat pada perkawinan, tapi embrio diimplantasikan ke dalam rahim seorang wanita yang terikat dalam perkawinan maka anak yang lahir mempunyai status anak sah dari pasangan Suami Istri tersebut karena dilahirkan oleh seorang perempuan yang terikat dalam perkawinan yang sah.
· Jika diimplantasikan ke dalam rahim seorang gadis maka anak tersebut memiliki status sebagai anak luar kawin karena gadis tersebut tidak terikat perkawinan secara sah dan pada hakekatnya anak tersebut bukan pula anaknya secara biologis kecuali sel telur berasal darinya. Jika sel telur berasal darinya maka anak tersebut sah secara yuridis dan biologis sebagai anaknya.

Dari tinjauan yuridis menurut hukum perdata barat di Indonesia terhadap kemungkinan yang terjadi dalam program fertilisasi-in-vitro transfer embrio ditemukan beberapa kaidah hukum yang sudah tidak relevan dan tidak dapat meng-cover kebutuhan yang ada serta sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan yang ada khususnya mengenai status sahnya anak yang lahir dan pemusnahan kelebihan embrio yang diimplantasikan ke dalam rahim ibunya. Secara khusus, permasalahan mengenai inseminasi buatan dengan bahan inseminasi berasal dari orang yang sudah meninggal dunia, hingga saat ini belum ada penyelesaiannya di Indonesia. Perlu segera dibentuk peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur penerapan teknologi fertilisasi-in-vitro transfer embrio ini pada manusia mengenai hal-hal apakah yang dapat dibenarkan dan hal-hal apakah yang dilarang.

Kasus Inseminasi Buatan di Amerika Serikat
Mary Beth Whitehead sebagai ibu pengganti (surrogate mother) yang berprofesi sebagai pekerja kehamilan dari pasangan William dan Elizabeth Stern pada akhir tugasnya memutuskan untuk mempertahankan anak yang dilahirkannya itu. Timbul sengketa diantara mereka yang kemudian oleh Pengadilan New Jersey, ditetapkan bahwa anak itu diserahkan dalam perlindungan ayah biologisnya, sementara Mrs. Mary Beth Whitehead (ibu pengganti) diberi hak untuk mengunjungi anak tersebut.

Negara Lain
Negara yang memberlakukan hukum islam sebagai hukum negaranya, tidak diperbolehkan dilakukannya inseminasi buatan dengan donor dan dan sewa rahim. Negara Swiss melarang pula dilakukannya inseminasi buatan dengan donor. Sedangkan Lybia dalam perubahan hukum pidananya tanggal 7 Desember 1972 melarang semua bentuk inseminasi buatan. Larangan terhadap inseminasi buatan dengan sperma suami didasarkan pada premis bahwa hal itu sama dengan usaha untuk mengubah rancangan ciptaan Tuhan.

Jumat, 16 November 2007

Some Causes of Infertility in Woman

There are many factors that will relate how a woman develops infertility. While it is prevalent among Americans, no data can truly present the actual intensity or prevalence of this condition.

Infertility is definitely not a physical disease. Unlike simpler conditions like flu or the more complex ones such as those of cancer, symptoms of infertility are not focused on the obvious signs.

In fact, a woman need not undergo a series of comprehensive tests and examinations before she can truly be diagnosed of infertility. The same goes with men only differing in one thing, male infertility is much more difficult to be spotted unless obvious presentations of erectile dysfunction are seen.

Pelvic Inflammatory Disease or PID


This is presumed to be the most common cause of infertility. This arises from internal infections that are caused by bacteria penetrating into the internal reproductive organs of a female. The typical organs affected are those surrounding the pelvic area but when aggravated, infections may also radiate into the neighboring intestines. Infertility associated with PID is definite if the portion affected is the fallopian tube, a condition that is medically termed as salpingitis.

Endometriosis

According to data gathered from medical literature, nearly 30% of all infertility cases in women is covered by this condition. This is characterized with the presence of the endometrial tissue in parts other than the uterus. This tissue is the one women discharge during menstrual cycle.

Having this condition however does not actually suggest the likelihood of being unable to conceive. But it may largely contribute to the development of the disease

Polycystic Ovarian Syndrome


This is the condition characterized by the over-production of androgens in the female's system. This occurrence will drive the lowering in the release of other hormones such as Follicle Stimulating Hormone and Luteinizing Hormone which will eventually caused the stoppage of mature egg production.

Early Menopause or Premature Ovarian Failure


This is the premature depletion of follicles in women during ages prior to her 40th years. This is characterized by long periods of irregular menstrual flow. This condition is very much comparable with true menopause since both impede a woman to produce eggs.

Idiopathic Hypogonadotropic Hypogonadism


This is rarely the case among infertile women. This is identified when there is 'no' production of LH and FSH. Thus, the impossibility of developing egg cells. There are actually no physical symptoms that will help conclude the presence of this condition. Most cases of Idiopathic Hypogonadotropic Hypogonadism fall under unknown infertility cases.

By Low Jeremy

Perokok punya Bayi Tabung Sehat?

Rokok berkaitan erat dengan kemampuan reproduksi. Salah satunya, adalah kemampuan seorang pria untuk menghasilkan sperma yang berkualitas. Berbagai penelitian membuktikan bahwa rokok bisa menurunkan kualitas sperma. Ini sangat masuk akal mengingat dalam sebatang rokok terdapat sekitar 4.000 partikel kimia yang berbahaya bagi tubuh alias beracun.
Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa racun dalam rokok ini bisa masuk ke testis, sehingga mengganggu perkembangan sperma. Partikel tersebut masuk ke darah dan semen. "Kondisi pada sperma akibat rokok itu bisa dilihat dari jumlah spermanya yang berkurang, gerakannya menjadi lambat, dan bentuknya menjadi jelek," jelas embriologis dari Klinik Infertilitas Permata Hati RS Dr Sardjito, dr Ita Fauzia Hanoum, MCE.
Ada penelitian yang bisa membuktikan kalaupun bentuk sperma tidak bermasalah, kemudian gerakannya tidak terlalu berpengaruh, jumlahnya juga tidak terlalu turun, tetapi DNA-nya rusak. Jadi, kata dia, sekarang yang menjadi perhatian para perokok, terutama perokok berat, adalah kemungkinan tidak punya anak.
Penelitian yang mengemukakan bahwa rokok dapat mempengaruhi kualitas sel DNA sperma pria banyak membuat papa pria tersebut memilih jalur bayi tabung dalam hal memperoleh keturunan, tapi lewat proses bayi tabung-pun, DNA sel sperma yang sudah rusak akan tetap mempengaruhi proses kelahiran bayi tabung.
Kerusakan DNA itu bisa mempengaruhi banyak hal, bisa yang minor sampai ke mayor.
"Angka keguguran menjadi tinggi. Kalau ayah dan ibunya merokok, kontribusinya menjadi dua, tetapi kalau ibunya tidak merokok, angka kegugurannya karena DNA ayahnya rusak," tandasnya. Parahnya lagi, kalau si ibu tidak mengalami keguguran dan anak lahir hidup, anaknya mungkin ada kecacatan tertentu. "Apalagi bila si isteri usainya sudah lanjut, suami merokok, angka kecacatan anaknya akan semakin tinggi," jelasnya.
Di Klinik Permata Hati belum dilakukan penelitian tentang hubungan laki-laki yang ikut program bayi tabung dengan perilaku merokok, tetapi mereka selalu ditanya apakah mereka merokok atau tidak. Disarankan pula kepada para suami perokok yang ikut program bayi tabung agar tidak merokok. ''Memang ada yang mempertimbangkan hal itu, tetapi sebagian besar menganggap tidak ada pengaruhnya dan tidak peduli. Mereka tetap merokok. Padahal pendidikan mereka menengah ke atas,'' ungkap Ita. Dari hasil penelitian juga didapatkan bahwa suami perokok kemampuan untuk menghamili isterinya lebih lambat daripada suami yang tidak merokok. Kalaupun sang istri bisa hamil, masalah lain akan menanti di depan mata. Maka dari itu cara bayi tabung pun tetap tidak akan memberikan hasil yang baik jika anda tetap merokok.

Bayi Tabung Lebih Pintar?

Penelitian pertama terhadap anak-anak usia delapan tahun dari hasil pembuahan melalui metode intracytoplasmic sperm injection (ICSI) atau bayi tabung menunjukkan bahwa mereka rata-rata memiliki tingkat intelegensi yang lebih baik daripada anak-anak hasil reproduksi normal. Hal tersebut menolak anggapan bahwa teknik tersebut tidak seaman metode in vitro vertilization (IVF) standar yang biasa dipakai untuk menghasilkan bayi tabung.

ICSI dilakukan dengan menyuntikkan sperma secara langsung ke dalam sel telur, berbeda dengan IVF standar yang hanya meletakkan sperma sedekat mungkin dengan sel telur, tanpa disuntikkan, agar dapat melakukan pembuahan secara alami.

Beberapa penelitian pendahuluan yang dilakukan sejak 1998 melaporkan bahwa anak-anak hasil bayi tabung/ICSI usia satu tahun terlambat berkembang dibandingkan anak-anak yang normal. Sehingga keamanan teknik tersebut sempat diragukan. Tapi, penelitian yang lebih lama terhadap anak usia lima tahun, tidak ditemukan perbedaan tingkat perkembangan yang signifikan.

Baru-baru ini, tim yang dipimpin Lize Leunens dari Free University of Brussels (VUB) di Belgia membandingkan antara tingkat intelegensi dan kemampuan motorik terhadap 151 anak hasil bayi tabung usia delapan tahun dengan 153 anak hasil pembuahan normal.

Hasilnya, tidak ada perbedaan dalam kemampuan motorik dan anak-anak ICSI memiliki nilai tes intelegensi yang lebih tinggi daripada yang normal. Leunens memaparkan hasil penelitiannya dalam pertemuan tahunan Perkumpulan Reproduksi Manusia dan Embriologi Eropa di Kopenhagen, Denmark, Selasa (21/6).

"Kami sangat gembira karena dalam jangka panjang anak-anak hasil bayi tabung tersebut tidak menderita kemunduran dalam perkembangannya," katanya.

Dalam penelitian tersebut, tidak ada perbedaan level pendidikan dari ibunya, yang diketahui mempengaruhi tingkat intelegensi seorang anak. Oleh karena itu Leunens berpendapat bahwa alasan yang dapat menerangkan adalah motivasi yang lebih besar dari ibu yang mengandung bayi ICSI. "Ibu yang mengandung bayi ICSI ini mungkin mendedikasikan dirinya secara khusus sebagai orang tua," katanya.

Selain itu, penjelasan yang masuk akal juga disampaikan menanggapi kemunduran tingkat perkembangan pada bayi ICSI yang berusia sangat muda. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa ibu bayi ICSI lebih suka membesarkan anaknya di rumah daripada mengirimkan ke playgroup atau berinteraksi dengan orang lain, kondisi yang mungkin menyebabkan kemunduran dalam perkembangan sosial.

Tapi, penelitian ini bukanlah jawaban terakhir. Penelitian lain menunjukkan bahwa penolakan banyak orang tua untuk mengijinkan anaknya diteliti, mungkin agak menurunkan kepercayaan hasil penelitian Leunens. Faktanya, sepertiga orangtua anak-anak ICSI menolak berpartisipasi.

Tanpa mengesampingkan kemungkinan-kemungkinan yang lain, Leunens menyatakan bahwa hasil penelitian tidak berbeda dengan kondisi yang dipaparkan orang tua melalui wawancara telepon. Ia juga menekankan bahwa penelitiannnya tidak melihat masalah kesehatan yang lain.(NewScientist.com/Wah)

Tehnik Bayi Tabung: Bedah Laparoskopik

Dalam proses bayi tabung secara ICSI, GIFT atau ZIFT seringkali ada operasi bedah laparoskopik (laparoscopic surgery). Ini adalah sedikit pembahasan mengenai laparoscopic surgery tersebut.

Operasi bedah laparoskopik merupakan teknik bedah yang dilakukan dengan cara membuat lubang kecil di dinding perut dan mengangkat kandung empedu dengan instrumen khusus menggunakan sistem endokamera melalui layar monitor.
Operasi ini digunakan dalam prosedur bayi tabung untuk memasukkan sel telur yang sudah dibuahi oleh sel sperma dan berkembang menjadi zigot ke dalam tuba fallopi si pasien wanita untuk kemudian agar dapat tumbuh secara alamiah menjadi bayi.

Efek bedah laparoskopik merupakan kebalikan dari efek bedah konvensional yang seringkali menimbulkan rasa nyeri pasca operasi, munculnya bekas pembedahan, masa pulih yang lambat, dan masa rawat yang panjang. Efek laparoskopik ini yaitu rasa nyeri yang minimal, masa rawat pendek, masa pulih cepat serta luka parut yang minimal.

Angka kematian pada sistem operasi bedah ini tercatat nihil, sedangkan penyulit dan konversi ke bedah konvensional kurang dari satu persen. Bedah laparoskopik sendiri merupakan teknik bedah invasif minimal yang menggunakan sistem endokamera, pneumoperitoneum dan instrumen khusus.

Pembedahan dilakukan di dalam rongga abdomen melalui layar monitor tanpa melihat dan menyentuh langsung organ yang dioperasi. Karena itu, spesialis bedah memerlukan pelatihan koordinasi mata dan tangan untuk menguasai keterampilan teknik bedah laparoskopik.